Kawasan Sempadan Pantai

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN PADA KAWASAN SEMPADAN PANTAI
Oleh : Prasetio Perwito Gumela
Dibimbing oleh : Ibu Ikomatusuniah, S.H., M.H.

Pendahuluan 
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau yang berjajar dari Sabang hingga Merauke juga dari pulau Weh hingga pulauu Rote. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kondisi geografis yang sebbagian besar wilayahnya merupkan daeraah pantai. Kawasan pantai umumnya sangat menarik perhatian para turis ataupun wisatawan baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan manca negara. Selain sebagaai daya tarik dalam segi pariwisata, pantai juga umumnya sangat menarik para nelayan untuk mendirikan perumahan karena ingin dekat dengan tempat bekerja mereka sebagai penangkap ikan di laut yang merupakaan mata pencaharian utama mereka. Namun pada kenyatannya, pada saat ini banyak sekali nelayan yang sulit berlabuh ditepi pantai karena sudah banyak bangunan milik perorangan atau badan usaha privat yang didirikan digaris pantai bahkan menjorok ke laut.Tentu saja fenomena yang terjadi pada saat ini telaah melunturkan fungsi sosial laut sebagai aset yang sejatinya merupakan milik seluruh umat manusia.
 Kawasan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan akibat ulah manusia maupun perubahan alaam. Untuk mengatasi kerusakan pantai lebih jauh, diperlukan adanya kawasan sempadan pantai. Kaawasan inilah yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya abrasi panntai dan melindungi pantai dari kegiatan yang mengganggu/merusak fungsi dan kelestarian kawasan pantai. Garis sempadan pantai ditentukan berdsarkan bentuk dan senis pantai daerah yang bersangkutan. Penetapan garis sempadan pantai harus ditindak lanjuti dengan penegakkan hukum (law Emforcement) dengan tegas dan juga mengkaji lebihdalam mengenai pemberian izin mendirikan bangunan pada kawasan sempadan pantai yang ada pada saat ini.
Kawasan Sempadan Pantai 
Seringkali penggunaan istilah „pantai‟ dan „pesisir‟ tidak didefinisikan dengan jelas dan pasti. Apabila ditinjau secara yuridis tampaknya kedua istilah tersebut harus diberi pengertian secara jelas. Pemaknaan kembali kedua istilah tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan keraguan atau ketidakpastian, baik dalam perumusan suatu peraturan maupun dalam pelaksanaannya. Berikut ini definisi „pantai‟ dan „pesisir‟ (Diraputra, 2001) :
“Pantai adalah daerah pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan. Sedangkan garis pantai adalah garis air yang menghubungkan titik-titik pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan. Garis pantai akan terbentuk mengikuti konfigurasi tanah pantai/daratan itu sendiri”.
“Pesisir adalah daerah pertemuan antara pengaruh daratan dan pengaruh lautan. Ke arah daratan mencakup daerah-daerah tertentu di mana pengaruh lautan masih terasa (angin laut, suhu, tanaman,burung laut, dsb). Sedangkan ke arah lautan daerah pesisir dapat mencakup kawasan-kawasan laut dimana masih terasa atau masih tampak pengaruh dari aktifitas di daratan (misalnya penampakan bahan pencemar, sedimentasi, dan warna air)”
Dari definisi pantai dan pesisir tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian pesisir mencakup kawasan yang lebih luas dari pengertian pantai. Dalam konteks ini dapat pula dibedakan antara „tanah pantai‟ dan ‟tanah pesisir‟. Berikut ini definisi „tanah pantai‟ dan ‟tanah pesisir. Tanah pantai adalah tanah yang berada antara garis air surut terendah dan garis air pasang tertinggi, termasuk ke dalamnya bagian-bagian daratan mulai dari garis air pasang tertinggi sampai jarak tertentu ke arah daratan, yang disebut sebagai „sempadan pantai‟.
Menurut Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan, sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai. Kawasan sempadan pantai berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi pantai dan melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu/merusak fungsi dan kelestarian kawasan pantai. Daerah sempadan pantai hanya diperbolehkan untuk tanaman yang berfungsi sebagai pelindung dan pengaman pantai, penggunaan fasilitas umum yang tidak merubah fungsi lahan sebagai pengaman dan pelestarian pantai. Berdasarkan Kepres No. 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung telah ditentukan bahwa :
Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi 
wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai (pasal 13).
Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat (pasal 14).
Sempadan pantai ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia, setelah terjadi perubahan paradigma pemerintahan, yakni dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, maka tiap daeah tingkat II memiliki wewenang untuk mengelola wilayah laut selebar 1/3 mil dari lebar laut yang menjadi wewenang propinsi. Wewenang tersebut, termasuk membuat peraturan tentang penentuan kawasan sempadan pantai, yang lebarnya ditetapkan sesuai dengan kondisi fisik pantai masing-masing daerah. Walaupun begitu Pemerintah Pusat melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, telah menetapkan kawasan sempadan pantai dengan jarak minimal 100 meter dari pantai pada waktu pasang tertinggi, sebagai pedoman bagi pemerintah di daerah tingkat II.
Namun acap kali terjadi pelanggaran mengenai pemberian izin mendirikan bangunan yang berada dikawasan sempadan pantai, hal ini sering kali dapat kita lihat dipantai-pantai yang notabene sering dikunjungi oleh wisatawan. Dikawasan sempadan pantai seperti pada daerah pantai anyer, dapat denga jelas kita lihat bahwa bangunan yaang didirikan oleh pengusaha perhotelan yang ada disana melanggar ketentuan mengenai garis sempadan pantaii yang telah diatur diatas tadi.
Fakta adanya pelanggaran-pelanggaran di kawasan sempadan pantai mungkin juga dipicu oleh peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pula. Hal ini sudah barang tentu telah membawa konsekuensi terjadinya disharmoni hukum yang ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan. Contoh konkret dari disharmoni tersebut adalah ketidakselarasan dan ketidakserasian antara penerapan UU Kehutanan dan UU Perikanan dalam masalah konservasi. Inkonsistensi dalam penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum juga menimbulkan terjadinya disharmoni hukum yang harus diharmonisasikan melalui kegiatan penyerasian dan penyelarasan hukum (Patlis Jason M. dkk, 2005). Situasi ini perlu segera disikapi dengan menyelaraskan berbegai peraturan yang sudah melalui revisi-revisi, pencabutan atau penerbitan peraturan yang baru.
Penetapan garis sempadan pantai tersebut, hendaknya ditindaklanjuti dengan penegakan hukum (law enforcement) sehingga dapat tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, untuk semua pihak tanpa kecuali. Daerah sempadan pantai harus dijadikan sebagai daerah konservasi. Dimana untuk daerah yang sudah terlanjur dipenuhi dengan bangungan di sepanjang pantainya, perlu dilakukan pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar di kawasan sempadan pantai atau paling tidak diminimalkan dampaknya. Sedangkan daerah yang belum dibangun diupayakan agar kelestariannya dapat terjaga dengan cara memperketat pemberian izin lokasi dan izin mendirikan bangunan (IMB). Pemberian izin tersebut harus ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan secara berkesinambungan.


Penutup
Kawasan sempadan pantai perlu ditentukan keberadaannya terkait dengan fungsinya sebagai pengaman dan pelindung kelestarian pantai. Penentuan letak garis sempadan pantai secara teknis diperhitungkan berdasarkan karakteristik pantai, fungsi kawasan, dan diukur dari garis pasang tertinggi pada pantai yang bersangkutan. Dalam hal ini tiap daerah diperbolehkan menentukkan lebar kawasan sempadan pantai sesuai kebutuhan, pemanfaatan, dan karakteristik pantainya dengan tetap mengindahkan fungsi kawasan. Di daerah dengan pantai terjal mungkin kawasan sempadan pantai sudah cukup dengan jarak 100 m dari garis pantainya. Sebaliknya di daerah dengan pantai landai, akan membutuhkan kawasan sempadan pantai lebih lebar lagi. Dengan demikian peraturan atau kebijakan penentuan kawasan sempadan pantai diserahkan pada Pemda masing-masing dengan platform yang jelas.
Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai harus menjadi prioritas utama, dengan prinsip kelestarian lingkungannya tanpa meninggalkan prinsip keadilan. Adanya kawasan sempadan pantai akan mencegah terjadinya abrasi pantai dan melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu dan atau merusak fungsi dan kelestariannya. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna adanya kesamaan akses terhadap kesempatan di antara masyarakat dan golongan. Keadilan dapat dicapai ketika nelayan kecil memiliki akses yang sama terhadap kesempatan yang ada untuk pembangunan, perlindungan, dan pengelolaan sumberdaya pesisir.

Comments

Popular posts from this blog

Subjek dan Objek Hukum Kontrak

Sejarah Hukum

Tanya Jawab Hukum Keuangan Negara