Apakah Nikah Online Diperbolehkan ?
Pertanyaan :
Apakah Nikah Online diperbolehkan ??
Pembahasan :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
hidup berpasangan-pasangan menjadi suami istri membangun rumah tangga yang
damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kekal
dan tidak mudah diputuskan, yaitu ikatan Akad Nikah atau
Ijab Kabul perkawinan. Bila Akad Nikah telah dilangsungkan maka
mereka telah berjanji dan setia akan membangun rumah tangga yang Sakinah dan
Mawadah Warohmah, yang natinya akan lahir keturunan-keturunan dari mereka.
Tujuan
perkawinan agar memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dan membentuk
keluarga yang bahagia. Artinya ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka
lembaga perkawinan tersebut pastilah bertujuan untuk menciptakan ketenangan.
Dan kedamaian bagi manusia yang telah mampu untuk melaksanakannya.
Sebenarnya
pertalian pernikahan adalah pertalian yang sesungguhnya dan seteguh-teguhnya
dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan
keturunannya saja, bahkan antara kedua keluarga.
Seiring
dengan perkembangan zaman, model dan corak pernikahpun semakin berkembang,
antara lain pernikahan yang akadnya lewat online, dimana pernikahan tidak lagi
harus secara langsung berhadap-hadapan antara mempelai lelaki dengan mempelai
perempuan atau dengan pihak lain yang terkait dalam pernikahan (wali atau
saksi). Oleh karenanya saya selaku penulis ingin mencoba membahas sedikit
mengenai model corak pernikahan lewat online yang coba penulis paparkan dalam
sebuah makalah yang diberi judul NIKAH ONLINE
B. Rumusan
Masalah
- Apa
yang dimaksud dengan nikah siri?
- Faktor
apa saja yang melatar belakangi terjadinya nikah siri?
- Sah
tidaknya nikah online menurut hukum agama dan hukum
positif indonesia ?
C. Maksud
dan Tujuan
- Agar kita mengetahui yang dimaksud
niakah siri.
- Agar kita mengetahui sah tidaknya
nikah online menurut hukum islam dan hukum
posotif indonesia.
- Agar kita mengetahui faktor apa saja
yang melatar belakangi terjadinya nikah siri.
- Agar kita mengetahui dampak yang
ditimbulkan dari nikah siri terhadap perempuan dan anaknya.
D. Metode
Penulisan
BAB
I PENDAHULUAN :
Latar
belakang, Rumusan Masalah, Maksud dan Tujuan.
BAB
II PEMBAHASAN :
Apa
yang dimaksud dengan nikah siri, Faktor apa saja yang melatar belakangi
terjadinya nikah siri, Sah tidaknya nikah online menurut hukum agama dan hukum
positif Indonesia, bagaimana dampak yang ditimbulkan dari nikah siri
terhadap perempuan dan anaknya?
BAB
III. PENUTUP :
Kesimpulan,
saran,
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nikah Siri Online
Pengertian
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan
prosedur peraturan perundangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah
tidaknya nikah siri atau pernikahan di bawah tangan, hal ini dikarenakan adanya
perbedaan penafsiran terhadap ketentuan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam UU mengharuskan pencatatan pernikahan dan mengatur tentang sahnya
pernikahan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan.
Menurut
Hukum Islam, Pengertian Nikah Siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun
pernikahan. Namun dari aspek peraturan UU perkawinan model ini belum lengkap
dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan pernikahan hanya merupakan perbuatan
administratif yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya pernikahan.Biasanya
nikah siri sendiri dilakukan karena dua pihak belum siap meresmikannya atau
meramaikannya, namun dipihak lain untuk menjadi agar tidak terjadi hal-hal yag
tidak diinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.
Sedangkan
pengertian nikah siri online ialah pernikahan yang dilaksanakan secara
sembunyi-sembunyi tak mendapat legalitas dari negara. Kedua, terang Machasin, Pelaksanna nikahnya pun dilakukan
lewat onlineseperti melalui media social skype yang digunakan seperti video
call.
B. Faktor
Yang Melatar belakangi Terjadinya Nikah Siri
Bermacam
alasan yang melatar belakangi seseorang melakukan nikah
siri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi, sebab sebagian
pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta
gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal,
hal ini terjadi di sebagian besar Negara Arab . Ada juga yang tidak mampu
mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu mahal.
Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun karena
khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan niatnya untuk
mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan
jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,
terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI).
Menurut
psikolog Ekorini Kuntowati, nikah siri juga dilatarbelakangi oleh
model keluarga masing-masing pasangan. Pernikahan siri ataupun bukan, tidak
menjadi jaminan untuk mempertahankan komitmen. Seharusnya orang lebih bijak,
terutama bila hukum negara tidak memfasilitasinya. Nikah siri terjadi bukan
hanya karena motivasi dari pelaku/pasangan atau latar belakang keluarganya,
lingkungan sosial atau nilai sosial juga turut membentuknya. Sebut saja ketika
biaya pencatatan nikah terlalu mahal sehingga ada kalangan masyarakat tak mampu
tidak memedulikan aspek legalitas.
Faktor
lain, ada kecenderungan mencari celah-celah hukum yang tidak direpotkan oleh
berbagai prosedur pernikahan yang dinilai berbelit, yang penting dapat memenuhi
tujuan, sekalipun harus rela mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. UU
1/1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya mengatur syarat yang
cukup ketat bagi seseorang atau pegawai negeri sipil (PNS) yang akan
melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan seterusnya, atau yang akan
melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu, bagi sebagian orang ditangkap
sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup menjanjikan. Yaitu dengan menawarkan
berbagai kemudahan dan fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri (bawah
tangan) sampai membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat
yang berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau
alternatif yang tepat. Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat
pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Tidak dipersoalkan,
apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah menurut hukum atau tidak,
yang penting ada bukti tertulis yang menyatakan perkawinan tersebut sah. Kita
menyebut fenomena itu sebagai ''kawin alternatif''.
C. Sah
Tidaknya Nikah Online Menurut Hukum
Positif Indonesia
Undang
- Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai
sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari
Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini
berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau
ijab kabultelah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah
melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah
sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan
ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara,
yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai
bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah"). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan
dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai
pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan
perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup
menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara
pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana
perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian
pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya
tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan
untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman
tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum .
D. Dampak Yang Ditimbulkan Dari Nikah Siri
Dampak yang akan timbul dari
perkawinan yang tidak dicatatkan secara Yuridis Formal.
Pertama, perkawinan
dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan,
namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat
oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan 43
UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini
artinya anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam
perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula
secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak Anak).
Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat
lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah
ataupun warisan dari ayahnya.
Secara
garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan
adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak
yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak
yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa
dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya.
Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak (Wila
Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat
untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan
perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula
bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya
merugikan perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan
dengan pentingnya pencatatan perkawinan, seperti juga pembuatan KTP
atau SIM, kita sesungguhnya membicarakan pelayanan publik yang menjadi
tanggung jawab negara. Sehingga sudah semestinya memperhatikan prinsip good
governance, salah satunya adalah menetapkan biaya yang sesuai dengan taraf
kehidupan masyarakat dan prosedur yang tidak berbelit-belit (user-friendly).
Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang sesuai masyarakat
diajak untuk mencatatkan perkawinannya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pernikahan
siri adalah nikah dibawah tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut
secara sembunyi karena tidak dilaporakan ke Kantor Urusan Agama bagi muslim
atau catatan sipil non muslim.
Hukum
nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan
jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di
Negara kita tentang perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam
perundangan ada yang tidak lengkap secara administrasi.
Dampak
yang ditimbulkan dari nikah sirih lebih banyak faktor kerugaiannya dibandingkan
faktor keuntungannya. Kerugaian yang terbesar dari nikah siri berdampak pada
pihak perempuan dan anaknya untuk masa depannya.
Faktor
yang melatar belakangi adanya nikah sirih yaitu 1) faktor ekonomi, 2) proses
admisntrasi pernikahan yang dianggap terlalu sukar, 3) bagi pria yang yang
ingin menikah lagi atau poligami tetap tidak mendapat persetujuan atau
disetujui dari istri ke pertama, 4) dari awal baik si wanita atau pria yang
melakukan nikah siri mempunyai itikad tidak baik, hanya sekedar menghalalkan
hubungan persetubuhan saja.
B. Saran
Kepada
pemuda pemudi agar tidak mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat
merugikan. Dan berusaha menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah
melakukan penyuluhan dan dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah
siri.
DAFTAR
PUSTAKA
- Kurdi M.2006 (2006). Membentuk
pernikahaN yang sakral[online]. Tesedia:ssunnah@ yahoogroups.com[9 maret
2009].
- Nizami. A. (2005). Pernikahan
sirih [online].tersedia:http://www.myquran.org/forum/
archive/index.php/t-4675.html[8 Maret 2009]
- Redaksi Tim, (2005). Undang-Undang
Perkawinan, Fokus media, Bandung.
- Yunus, Mahmud.H Prof. (1976). Hukum
Pernikahan Dalam Islam, Pthida Karya Agung, Jakarta.
Comments
Post a Comment