Study Kasus Hak Kekayaan Intelektual

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Undang-undang Merek yang baru menambah ketentuan baru mengenai Indikasi Geografis (geographical indication) dan indikasi asal sebagaimana yang diatur dalam Persetujuan TRIPs. Pengertian Indikasi Geografis ini dapat dijumpai dalam Pasal 22 ayat (1) persetujuan TRIPs yang berbunyi :
Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications ehich identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic ofd the good is essentially attributable to its geographical origin.

Dari rumusan Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRIPs, jelas bahwa indikasi geografis adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah dalam wilayah negara anggota tersebut, yang menunjukan asal suatu barang, yang memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu dari barang yang bersangkutan. Dengan kata lain, identitas suatu barang dapat juga ditentukan faktor geografis yang menunjukan adanya reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang yang bersangkutan.[1]
            Indikasi Geografis merujuk tidak hanya pada nama tempat, tetapi juga tanda-tanda kedaerahan atau lambang dari lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal produk khas bersangkutan. Contohnya seperti Monas, ataupun Rumah Adat Toraja. Tanda itu bukan produk dagangnya, tetapi melekat pada produk sebagai tanda asal yang berhubungan dengan kerakteristik produknya.
Indikasi Geografis sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh mengenai nilai ataupun norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka perlindungannya (legal means), termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat (unfair competition). Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing Negara. Aturan Indikasi Geografis pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik Indikasi Geografis maupun Merek merupakan rezim yang independen.[2]
Adanya aturan mengenai Indikasi Geografis di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma perlindungan HKI, hadir setelah keikutsertaan dan ratifikasi Indonesia dalam Persetujuan TRIPs (vide Keppres No. 7 Tahun 1994). Norma baru yang merupakan bagian dari penyesuaian aturan HKI pasca penandatanganan Persetujuan TRIPs ini dimasukkan dalam rezim Merek sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek dan dalam UU Merek yang baru, UU No. 15 Tahun 2001 (“UU Merek”). Norma pembatasannya tercantum pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek, sebagai berikut:
Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat dipertahankan. Penjabaran secara rinci mengenai perlindungan Indikasi Geografis dituangkan dalam aturan pelaksana berupa PP No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi-Geografis (“PP 51/2007”). [3]
Pada Study Kasus kali ini penulis mencoba mengulas atau mengangkat kasus mengenai Kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co. dimulai pada saat pemilik merek “Toarco Toraja” tersebut mengajukan permohonan perlindungan atas merek kopi yang mulai populer di Jepang. Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama yang sama menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya pada 1974 dan kemudian pendaftarannya dikabulkan pada 1976.
Seiring dengan perlindungan merek bersangkutan, berkembang pula norma yang melindungi nama daerah (letak geografis) sebagai tanda untuk mengenali kualitas ataupun ciri khas produk tertentu. Nilai ekonomis produk yang menggunakan IG menjadi issue penting dalam perdagangan. Utamanya, setelah secara definitif diperkenalkan pada aturan dagang internasional dalam kerangka WTO, khususnya melalui Pasal 22 s.d. Pasal 24 Persetujuan TRIPs. Adanya perkembangan ini membuka peluang beberapa perusahaan kopi di Jepang untuk mengajukan permohonan penghentian penggunaan monopoli kata “Toraja” pada merek dagang yang dimiliki Key Coffee Co. atas jenis produk kopi. Dasarnya karena penggunaan nama daerah asal penghasil kopi bersangkutan dianggap sebagai domain publik. Bahkan sengketa penyalahgunaan nama Toraja sebagai merek dagang ini pernah sampai pada pengadilan Urawa, Jepang pada 1997. Walaupun diakhiri dengan kesepakatan damai, Key Coffee tetap saja sebagai pihak yang memberikan izin penggunaan nama Toraja di Jepang.

B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam Study Kasus ini, yaitu:
1.      Upaya hukum seperti apa yang dapat dilakukan mengenai kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co ?
2.      Apa saja akibat hukum yang dapat terjadi pada kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co ?
C.    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui upaya hukum seperti apa yang dapat dilakukan mengenai kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co
2.      Untuk mengetahui Apa saja akibat hukum yang dapat terjadi pada kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co

2.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan secara teoritis maupun praktis, antara lain sebagai berikut:
a.       Kegunaan secara Teoritis:
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum dan yang bersangkutan dengan Hak Kekayaan Intelektual.
b.      Kegunaan Secara Praktis
Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai masukan bagi perusahaan ataupun perorangan dan juga masyarakat umum dalam menjalankan dan menerapkan mengenai hukum hak kekayaan intelektual.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Merek, adalah tanda yang berfungsi untuk membedakan suatu produk dari produk sejenis yang ada di pasar. Tujuan pemberian tanda itu adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau produsen dari produk tersebut atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau kelebihan dari produk tersebut. Dalam banyak sektor perdagangan, merek menjadi penting karena itulah yang menarik konsumen untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang mau bersusah payah dan mengeluarkan uang banyak untuk membangun atau mempertahankan reputasi mereknya. Kepemilikan merek bersifat privat, karena penetapan suatu tanda sebagai merek terjadi akibat kesengajaan oleh produsen produk tersebut dan bukan karena ditetapkan oleh masyarakat. Pemegang hak merek berkepentingan untuk mencegah mereknya ditiru/dipalsu, karena produk peniru apalagi palsu tersebut dapat mengurangi pendapatannya atau mengerosi reputasinya.[4]
Istilah ‘tanda’ dalam konteks merek tidak sama dengan yang diatur dalam konteks indikasi geografis. Dalam konteks merek, tanda tersebut yang penting adalah harus memiliki daya pembeda. Berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness, kekuatan daya pembeda suatu merek dapat dikelompokkan menjadi lima: fanciful, arbitrary, suggestive, descriptive, dan generic. Dalam konteks indikasi geografis, ‘tanda’ tersebut harus menunjukkan daerah asal dari suatu produk; sedangkan produknya itu sendiri harus menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang dihasilkan oleh faktor lingkungan geografis, yang meliputi faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Jika ‘tanda’ dalam merek diberikan oleh produsen produk, maka ‘tanda’ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah suatu hal yang hampir mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang pertama kali mencetuskan nama tersebut. Yang jelas dalam praktek perdagangan, ‘tanda’ itu dipergunakan untuk membedakan dengan produk yang sejenis dari daerah lain.
Dalam pengaturan UU Merek 2001, obyek indikasi geografis tidak dibatasi secara tegas hanya berupa hasil alam. Karena UU tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat yang berhak mengajukan permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek indikasi geografis dapat mencakup hasil budaya.
Dari rumusan Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRIPs, sudah jelas dan dapat diketahui bahwa indikasi geografis adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah dalam wilayah negara anggota tersebut, yang menunjukan asal suatu barang, yang memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu dari barang yang bersangkutan. Dengan kata lain, identitas suatu barang dapat juga ditentukan faktor geografis yang menunjukan adanya reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang yang bersangkutan.
Tanda yang digunakan sebagai indikasi geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda dimaksud dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, atau huruf. Pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara terus menerus sehingga dikenal sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan. Perlindungan indikasi geografis disini  meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industry tertentu lainnya.
Disamping indikasi geografis dikenal pula indikasi asa. Pada dasarnya indikasi asal ini adalah indikasi geografis, tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata  menunjukan asala suatu barang atau jasa. Pasal 59 UMM 2001 menyatakan indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukan asal suatu barang atau jasa.
Perlindungan hukum tehadap indikasi geografis hanya dapat diberikan setelah terdaftar di Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan yang diajukan oleh :
a.       Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas pihak yang mngusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan, produsen barang hasil pertanian, pembuat barang-barang kerajinan atau hasil industr, atau pedagang yang menjual barang tersebut;
b.      Lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu, bisa merupakan lembaga pemerintah atau lembaga resmi lainnya seperti k operasi, asosiasi dan lain-lain;
c.       Kelompok konsumen barang tersebut.
Ketentuan mengenai pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 21, 22, 23, 34, 25 UMM 2001 berlaku secara mutatis mutandis bagi pengumuman permohonan pendaftaran indikasi geografis.
Direktorat Jenderal dapat menolak atau menerima permohonan pendaftaran indikasi geografis yang bersangkutan. Permohonan pendaftaran indikasi geografis akan ditolak apabila tanda tersebut :
a.       Bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas asal sumber, proses pembuatan, da/atau kegunannya;
b.      Tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi geografis
Permohonan penolakan pendaftaran indikasi geografis dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding Merek sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 UMM 2001.
Perlindngan hukum terhadap indikasi geografis terdaftar ini berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada.
Apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi geografis, satu tanda telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar, pihak yang beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai indikasi geografis.
Menurut Pasal 57 dan Pasal 60 UMM 2001, baik pemegang hak atas indikasi geografis maupun indikasi asal dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai indikasi geografis atau indikasi asal yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket indikasi geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Dalam kaitan ini, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakkan, serta memerintahkan pemusnahan etiket indikasi geografis atau indikasi asal yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya sebagai pemilik indikasi geografis atau indikasi asal yang dilanggar oleh orang lain.[5]
Demikian pula menurut Pasal 58 dan Pasal 60 UMM 2001, ketentuan mengenai penetapan sementara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Merek berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak atas indkiasi geografis maupun indikasi asal. Ini berarti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 56 sampai dengan pasal 60 Uum 2001 merupakan ketentuan yang bersifat khsus. Sepanjang tidak ditentukan lain atau tersendiri dalam pasal 56 sampai dengan pasal 60 UUM 2001 tersebu, ketentuan lain yang terdapat dalam UUM 2001 juga berlaku bagi indikasi geografis dan indikasi asal.


BAB III
PEMBAHASAN

1.      UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN
Secara logis, produk bermuatan IG dimiliki oleh masyarakat yang memiliki kepentingan langsung dengan IG bersangkutan. Namun dalam kerangka perlindungan hukum, perlindungan IG memerlukan upaya yang proaktif dari pihak yang berkepentingan (komunitas pemilik) berupa pendaftaran dalam rangka alas kepemilikannya. Berkenaan dengan kasus Kopi Toraja, klaim dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan mewakili masyarakat (adat) Toraja ataupun pemerintah daerah setempat.
Upaya pendaftaran kopi Toraja sebagai Indikasi Geografis di Indonesia diperlukan sebagai langkah awal pengakuan hak. Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi internasional seperti Perjanjian Lisabon 1958 perlu dijajaki untuk memperkuat kepemilikan Indikasi Geografis dalam wadah internasional. Di samping itu, Perjanjian ini memuat pula aturan yang mengutamakan kekuatan pendaftaran Indikasi Geografis sehingga dapat meletakan kepemilikan Merek dalam prioritas kedua, sekalipun sudah terdaftar lebih dahulu atas dasar itikad baik. Namun, upaya hukum pun perlu mengingat azas teritorial HKI. Aturan hukum setempat perlu menjadi acuan pertimbangan dan kajian berkaitan dengan bentuk perlindungan Indikasi Geografis berikut Merek mengingat maraknya Persaingan Tidak Sehat di Jepang
Seperti yang telah diuraikan pada pembahsan diatas pada kasus ini proses ataupun upaya hukum dapat dilakukan yaitu dengan cara mengajukan gugatan terhadap pemakai yang tanpa hak telah menggunakan indikasi geografis atau indikasi asal tersebut. Seperti yang telah diatur dalam Pasal 57 dan Pasal 60 UMM 2001 gugatan dapat berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket indikasi geografis yang digunakan tersebut.
Dalam kaitan ini, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakkan, serta memerintahkan pemusnahan etiket indikasi geografis atau indikasi asal yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya sebagai pemilik indikasi geografis atau indikasi asal yangf dilanggar oleh orang lain.

2.      AKIBAT HUKUM
Akibat hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan nama Toraja. Perlindungan hukum HKI bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia -- wilayah geografis dari mana Kopi Toraja itu berasal -- manakala pihak asing justru berebut karena nilai aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya mensyaratkan kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan.
Tentunya pada saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar sebagai Merek di Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap pemahaman konsep perlindungan IG. Walaupun pengenalan akan nama daerah yang dapat digunakan sebagai tanda dalam perputaran barang dan jasa dalam perdagangan internasional sudah ada pada norma AO yang perlindungannya tertuang dalam Konvensi Paris 1883, Perjanjian dan Protokol Madrid ataupun Perjanjian Lisabon 1958 (Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellation of Origin). Itupun posisi Indonesia bukan merupakan Negara peserta dari semua kesepakatan internasional tersebut, kecuali kemudian Konvensi Paris 1883 yang diratifikasi pasca Persetujuan TRIPs.










BAB IV
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Merek, adalah tanda yang berfungsi untuk membedakan suatu produk dari produk sejenis yang ada di pasar. Tujuan pemberian tanda itu adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau produsen dari produk tersebut atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau kelebihan dari produk tersebut. Dalam banyak sektor perdagangan, merek menjadi penting karena itulah yang menarik konsumen untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang mau bersusah payah dan mengeluarkan uang banyak untuk membangun atau mempertahankan reputasi mereknya. Kepemilikan merek bersifat privat, karena penetapan suatu tanda sebagai merek terjadi akibat kesengajaan oleh produsen produk tersebut dan bukan karena ditetapkan oleh masyarakat. Pemegang hak merek berkepentingan untuk mencegah mereknya ditiru/dipalsu, karena produk peniru apalagi palsu tersebut dapat mengurangi pendapatannya atau mengerosi reputasinya.

Istilah ‘tanda’ dalam konteks merek tidak sama dengan yang diatur dalam konteks indikasi geografis. Dalam konteks merek, tanda tersebut yang penting adalah harus memiliki daya pembeda. Berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness, kekuatan daya pembeda suatu merek dapat dikelompokkan menjadi lima: fanciful, arbitrary, suggestive, descriptive, dan generic. Dalam konteks indikasi geografis, ‘tanda’ tersebut harus menunjukkan daerah asal dari suatu produk; sedangkan produknya itu sendiri harus menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang dihasilkan oleh faktor lingkungan geografis, yang meliputi faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Jika ‘tanda’ dalam merek diberikan oleh produsen produk, maka ‘tanda’ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah suatu hal yang hampir mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang pertama kali mencetuskan nama tersebut. Yang jelas dalam praktek perdagangan, ‘tanda’ itu dipergunakan untuk membedakan dengan produk yang sejenis dari daerah lain.

2.      SARAN
Dalam pengaturan UU Merek 2001, obyek indikasi geografis tidak dibatasi secara tegas hanya berupa hasil alam. Karena UU tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat yang berhak mengajukan permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek indikasi geografis dapat mencakup hasil budaya. Pengaturan demikian menjadi membingungkan, karena obyek hasil budaya masyarakat lokal sesungguhnya dapat pula dianggap sebagai folklor. Persoalannya adalah pengaturan untuk  tidak menggunakan UU Merek, tetapi menggunakan UU Hak Cipta. Tidak hanya itu, pengaturan dalam UU Hak Cipta seolah-olah hanya mencakup folklor dalam pengertian lagu dan tarian saja, padahal pengertian mengenai folklor lebih luas dari itu.

Secara pribadi penulis berpandangan bahwa obyek indikasi geografis seharusnya dibatasi pada hasil alam saja. Karena sesuatu seharusnya disebut sebagai indikasi geografis jika keunikan, keistimewaan, atau keunggulan dari produk tersebut dibandingkan dengan produk sejenis lain lahir dari bumi (geo) tempat produk tersebut berasal.
Persoalan lain dari pengaturan mengenai indikasi geografis adalah inkonsistensi. Dalam sistem hukum merek, perlindungan hukum pada pemilik merek baru efektif jika yang bersangkutan telah mendaftarkan mereknya tersebut. Artinya, tanpa pendaftaran maka ditinjau dari segi hukum merek kedudukan hukum dari pemilik merek dalam mengantisipasi kompetitor atau lawan bisnisnya menjadi agak lemah. Terlepas dari kekurangan yang ada, policy dari pengaturan tersebut jelas. Tetapi dalam konteks indikasi geografis, apa yang dikehendaki oleh pembuat UU menjadi tidak jelas. Karena mereka menyatakan bahwa indikasi geografis yang tidak didaftarkan disebut indikasi asal; dan pemegang atas hak indikasi asal punya hak yang sama dengan pemegang hak atas indikasi geografis. Dengan rumusan yang seperti ini, lalu buat apa pengaturan mengenai pendaftaran indikasi geografis?
Agar tidak menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi, sebaiknya pengaturan mengenai indikasi geografis dikeluarkan saja dari UU Merek. Dengan demikian, konten UU Merek menjadi lebih fokus.







[1] Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni). Hlm 5
[2] Ibid, Hlm. 17
[3] Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelekttual dan Budaya Hukum, (Jakarta: Rineka Cita, 2000). Hlm 30
[4] Bambang , Masyarakat (menulis) Melek Copyright, http://multiply.com
[5] Ahmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni). Hlm. 35

Comments

Popular posts from this blog

Subjek dan Objek Hukum Kontrak

Sejarah Hukum

Tanya Jawab Hukum Keuangan Negara