Study Kasus Hak Kekayaan Intelektual
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Undang-undang Merek yang
baru menambah ketentuan baru mengenai Indikasi Geografis (geographical
indication) dan indikasi asal sebagaimana yang diatur dalam Persetujuan TRIPs.
Pengertian Indikasi Geografis ini dapat dijumpai dalam Pasal 22 ayat (1)
persetujuan TRIPs yang berbunyi :
Geographical
indications are, for the purposes of this Agreement, indications ehich identify
a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in
that territory, where a given quality, reputation or other characteristic ofd
the good is essentially attributable to its geographical origin.
Dari rumusan Pasal 22
ayat (1) Persetujuan TRIPs, jelas bahwa indikasi geografis adalah tanda yang
mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah
dalam wilayah negara anggota tersebut, yang menunjukan asal suatu barang, yang
memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu dari barang yang
bersangkutan. Dengan kata lain, identitas suatu barang dapat juga ditentukan
faktor geografis yang menunjukan adanya reputasi, kualitas dan karakteristik
tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang yang bersangkutan.[1]
Indikasi Geografis merujuk tidak
hanya pada nama tempat, tetapi juga tanda-tanda kedaerahan atau lambang dari
lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal produk khas bersangkutan.
Contohnya seperti Monas, ataupun Rumah Adat Toraja. Tanda itu bukan produk
dagangnya, tetapi melekat pada produk sebagai tanda asal yang berhubungan
dengan kerakteristik produknya.
Indikasi Geografis
sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh mengenai
nilai ataupun norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum
yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum
dalam rangka perlindungannya (legal means), termasuk singgungannya dengan
persaingan tidak sehat (unfair competition). Bentuk perlindungan seperti apa
diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing Negara. Aturan Indikasi Geografis
pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek. Walaupun TRIPs
sendiri mengakui bahwa baik Indikasi Geografis maupun Merek merupakan rezim
yang independen.[2]
Adanya aturan mengenai Indikasi
Geografis di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma perlindungan HKI, hadir
setelah keikutsertaan dan ratifikasi Indonesia dalam Persetujuan TRIPs (vide
Keppres No. 7 Tahun 1994). Norma baru yang merupakan bagian dari penyesuaian
aturan HKI pasca penandatanganan Persetujuan TRIPs ini dimasukkan dalam rezim
Merek sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek dan dalam
UU Merek yang baru, UU No. 15 Tahun 2001 (“UU Merek”). Norma pembatasannya
tercantum pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek, sebagai berikut:
Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang
menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis
termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Serupa dengan
perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan Indikasi Geografis juga
mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran
dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki
kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, Indikasi
Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang
menjadi unggulannya masih tetap dapat dipertahankan. Penjabaran secara rinci mengenai
perlindungan Indikasi Geografis dituangkan dalam aturan pelaksana berupa PP No.
51 Tahun 2007 tentang Indikasi-Geografis (“PP 51/2007”). [3]
Pada Study Kasus kali ini penulis mencoba mengulas
atau mengangkat kasus mengenai Kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja
oleh Key Coffee Co. dimulai pada saat pemilik merek “Toarco Toraja” tersebut
mengajukan permohonan perlindungan atas merek kopi yang mulai populer di
Jepang. Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama yang
sama menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya pada 1974 dan kemudian
pendaftarannya dikabulkan pada 1976.
Seiring dengan perlindungan merek bersangkutan,
berkembang pula norma yang melindungi nama daerah (letak geografis) sebagai
tanda untuk mengenali kualitas ataupun ciri khas produk tertentu. Nilai
ekonomis produk yang menggunakan IG menjadi issue penting dalam perdagangan.
Utamanya, setelah secara definitif diperkenalkan pada aturan dagang
internasional dalam kerangka WTO, khususnya melalui Pasal 22 s.d. Pasal 24
Persetujuan TRIPs. Adanya perkembangan ini membuka peluang beberapa perusahaan
kopi di Jepang untuk mengajukan permohonan penghentian penggunaan monopoli kata
“Toraja” pada merek dagang yang dimiliki Key Coffee Co. atas jenis produk kopi.
Dasarnya karena penggunaan nama daerah asal penghasil kopi bersangkutan
dianggap sebagai domain publik. Bahkan sengketa penyalahgunaan nama Toraja
sebagai merek dagang ini pernah sampai pada pengadilan Urawa, Jepang pada 1997.
Walaupun diakhiri dengan kesepakatan damai, Key Coffee tetap saja sebagai pihak
yang memberikan izin penggunaan nama Toraja di Jepang.
B. PERUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
uraian-uraian diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan
dalam Study Kasus ini, yaitu:
1.
Upaya
hukum seperti apa yang dapat dilakukan mengenai kasus pendaftaran merek Kopi
dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co ?
2.
Apa
saja akibat hukum yang dapat terjadi pada kasus pendaftaran merek Kopi dengan
nama Toraja oleh Key Coffee Co ?
C. TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan permasalahan
yang dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1.
Untuk
mengetahui upaya hukum seperti apa yang dapat dilakukan mengenai kasus pendaftaran
merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co
2.
Untuk
mengetahui Apa saja akibat hukum yang dapat terjadi pada kasus pendaftaran
merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co
2. Manfaat
Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kegunaan secara teoritis maupun praktis, antara lain sebagai
berikut:
a.
Kegunaan
secara Teoritis:
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi
manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum dan yang
bersangkutan dengan Hak Kekayaan Intelektual.
b.
Kegunaan
Secara Praktis
Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberi
manfaat sebagai masukan bagi perusahaan ataupun perorangan dan juga masyarakat
umum dalam menjalankan dan menerapkan mengenai hukum hak kekayaan intelektual.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
Merek, adalah tanda yang
berfungsi untuk membedakan suatu produk dari produk sejenis yang ada di pasar.
Tujuan pemberian tanda itu adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau
produsen dari produk tersebut atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau
kelebihan dari produk tersebut. Dalam banyak sektor perdagangan, merek menjadi
penting karena itulah yang menarik konsumen untuk membeli produk tersebut. Oleh
karena itu, banyak perusahaan yang mau bersusah payah dan mengeluarkan uang
banyak untuk membangun atau mempertahankan reputasi mereknya. Kepemilikan merek
bersifat privat, karena penetapan suatu tanda sebagai merek terjadi akibat
kesengajaan oleh produsen produk tersebut dan bukan karena ditetapkan oleh
masyarakat. Pemegang hak merek berkepentingan untuk mencegah mereknya
ditiru/dipalsu, karena produk peniru apalagi palsu tersebut dapat mengurangi
pendapatannya atau mengerosi reputasinya.[4]
Istilah ‘tanda’ dalam
konteks merek tidak sama dengan yang diatur dalam konteks indikasi geografis.
Dalam konteks merek, tanda tersebut yang penting adalah harus memiliki daya
pembeda. Berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness, kekuatan daya pembeda
suatu merek dapat dikelompokkan menjadi lima: fanciful, arbitrary, suggestive,
descriptive, dan generic. Dalam konteks indikasi geografis, ‘tanda’ tersebut
harus menunjukkan daerah asal dari suatu produk; sedangkan produknya itu
sendiri harus menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang dihasilkan oleh
faktor lingkungan geografis, yang meliputi faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi
dari kedua faktor tersebut. Jika ‘tanda’ dalam merek diberikan oleh produsen
produk, maka ‘tanda’ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah
suatu hal yang hampir mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang
pertama kali mencetuskan nama tersebut. Yang jelas dalam praktek perdagangan,
‘tanda’ itu dipergunakan untuk membedakan dengan produk yang sejenis dari
daerah lain.
Dalam pengaturan UU Merek
2001, obyek indikasi geografis tidak dibatasi secara tegas hanya berupa hasil
alam. Karena UU tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat yang
berhak mengajukan permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat
barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek
indikasi geografis dapat mencakup hasil budaya.
Dari rumusan Pasal 22
ayat (1) Persetujuan TRIPs, sudah jelas dan dapat diketahui bahwa indikasi
geografis adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota,
atau kawasan atau daerah dalam wilayah negara anggota tersebut, yang menunjukan
asal suatu barang, yang memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik
tertentu dari barang yang bersangkutan. Dengan kata lain, identitas suatu
barang dapat juga ditentukan faktor geografis yang menunjukan adanya reputasi,
kualitas dan karakteristik tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang
yang bersangkutan.
Tanda yang digunakan
sebagai indikasi geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada
barang yang dihasilkan. Tanda dimaksud dapat berupa nama tempat, daerah, atau
wilayah, kata, gambar, atau huruf. Pengertian nama tempat dapat berasal dari
nama yang tertera dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara
terus menerus sehingga dikenal sebagai nama tempat asal barang yang
bersangkutan. Perlindungan indikasi geografis disini meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh
alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industry
tertentu lainnya.
Disamping indikasi
geografis dikenal pula indikasi asa. Pada dasarnya indikasi asal ini adalah
indikasi geografis, tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukan asala suatu barang atau jasa.
Pasal 59 UMM 2001 menyatakan indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang
memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata
menunjukan asal suatu barang atau jasa.
Perlindungan hukum
tehadap indikasi geografis hanya dapat diberikan setelah terdaftar di
Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan yang diajukan oleh :
a.
Lembaga
yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan,
yang terdiri atas pihak yang mngusahakan barang yang merupakan hasil alam atau
kekayaan, produsen barang hasil pertanian, pembuat barang-barang kerajinan atau
hasil industr, atau pedagang yang menjual barang tersebut;
b.
Lembaga
yang diberikan kewenangan untuk itu, bisa merupakan lembaga pemerintah atau
lembaga resmi lainnya seperti k operasi, asosiasi dan lain-lain;
c.
Kelompok
konsumen barang tersebut.
Ketentuan mengenai pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal-pasal 21, 22, 23, 34, 25 UMM 2001 berlaku secara mutatis mutandis
bagi pengumuman permohonan pendaftaran indikasi geografis.
Direktorat Jenderal dapat menolak atau menerima
permohonan pendaftaran indikasi geografis yang bersangkutan. Permohonan
pendaftaran indikasi geografis akan ditolak apabila tanda tersebut :
a.
Bertentangan
dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan
atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas asal sumber, proses
pembuatan, da/atau kegunannya;
b.
Tidak
memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi geografis
Permohonan penolakan
pendaftaran indikasi geografis dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding
Merek sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 UMM 2001.
Perlindngan hukum
terhadap indikasi geografis terdaftar ini berlangsung selama ciri dan/atau
kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi
geografis tersebut masih ada.
Apabila sebelum atau pada
saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi geografis, satu tanda telah
dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar, pihak
yang beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk
jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai
indikasi geografis.
Menurut Pasal 57 dan
Pasal 60 UMM 2001, baik pemegang hak atas indikasi geografis maupun indikasi
asal dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai indikasi geografis atau indikasi
asal yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan
serta pemusnahan etiket indikasi geografis yang digunakan secara tanpa hak
tersebut. Dalam kaitan ini, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk
menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakkan, serta memerintahkan pemusnahan
etiket indikasi geografis atau indikasi asal yang digunakan secara tanpa hak
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada
pihak yang haknya sebagai pemilik indikasi geografis atau indikasi asal yang
dilanggar oleh orang lain.[5]
Demikian pula menurut
Pasal 58 dan Pasal 60 UMM 2001, ketentuan mengenai penetapan sementara
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Merek berlaku secara mutatis mutandis
terhadap pelaksanaan hak atas indkiasi geografis maupun indikasi asal. Ini
berarti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 56 sampai dengan pasal 60
Uum 2001 merupakan ketentuan yang bersifat khsus. Sepanjang tidak ditentukan
lain atau tersendiri dalam pasal 56 sampai dengan pasal 60 UUM 2001 tersebu,
ketentuan lain yang terdapat dalam UUM 2001 juga berlaku bagi indikasi
geografis dan indikasi asal.
BAB
III
PEMBAHASAN
1. UPAYA
HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN
Secara logis, produk bermuatan IG dimiliki oleh masyarakat yang memiliki
kepentingan langsung dengan IG bersangkutan. Namun dalam kerangka perlindungan
hukum, perlindungan IG memerlukan upaya yang proaktif dari pihak yang
berkepentingan (komunitas pemilik) berupa pendaftaran dalam rangka alas
kepemilikannya. Berkenaan dengan kasus Kopi Toraja, klaim dapat dilakukan oleh
pihak yang berkepentingan mewakili masyarakat (adat) Toraja ataupun pemerintah
daerah setempat.
Upaya pendaftaran kopi Toraja sebagai Indikasi Geografis di Indonesia
diperlukan sebagai langkah awal pengakuan hak. Keikutsertaan Indonesia dalam
Konvensi internasional seperti Perjanjian Lisabon 1958 perlu dijajaki untuk
memperkuat kepemilikan Indikasi Geografis dalam wadah internasional. Di samping
itu, Perjanjian ini memuat pula aturan yang mengutamakan kekuatan pendaftaran Indikasi
Geografis sehingga dapat meletakan kepemilikan Merek dalam prioritas kedua,
sekalipun sudah terdaftar lebih dahulu atas dasar itikad baik. Namun, upaya
hukum pun perlu mengingat azas teritorial HKI. Aturan hukum setempat perlu
menjadi acuan pertimbangan dan kajian berkaitan dengan bentuk perlindungan Indikasi
Geografis berikut Merek mengingat maraknya Persaingan Tidak Sehat di Jepang
Seperti yang telah
diuraikan pada pembahsan diatas pada kasus ini proses ataupun upaya hukum dapat
dilakukan yaitu dengan cara mengajukan gugatan terhadap pemakai yang tanpa hak
telah menggunakan indikasi geografis atau indikasi asal tersebut. Seperti yang
telah diatur dalam Pasal 57 dan Pasal 60 UMM 2001 gugatan dapat berupa
permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket
indikasi geografis yang digunakan tersebut.
Dalam kaitan ini, hakim
dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan,
perbanyakkan, serta memerintahkan pemusnahan etiket indikasi geografis atau
indikasi asal yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya sebagai pemilik
indikasi geografis atau indikasi asal yangf dilanggar oleh orang lain.
2. AKIBAT
HUKUM
Akibat hukum adanya
pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi eksportir kopi dari
Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan nama
Toraja. Perlindungan hukum HKI bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia
-- wilayah geografis dari mana Kopi Toraja itu berasal -- manakala pihak asing
justru berebut karena nilai aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut
secara de facto telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya mensyaratkan
kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan.
Tentunya pada saat kopi
dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar sebagai Merek di
Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap pemahaman
konsep perlindungan IG. Walaupun pengenalan akan nama daerah yang dapat
digunakan sebagai tanda dalam perputaran barang dan jasa dalam perdagangan
internasional sudah ada pada norma AO yang perlindungannya tertuang dalam Konvensi
Paris 1883, Perjanjian dan Protokol Madrid ataupun Perjanjian Lisabon 1958
(Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellation of Origin). Itupun
posisi Indonesia bukan merupakan Negara peserta dari semua kesepakatan
internasional tersebut, kecuali kemudian Konvensi Paris 1883 yang diratifikasi
pasca Persetujuan TRIPs.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Merek, adalah tanda yang berfungsi untuk membedakan
suatu produk dari produk sejenis yang ada di pasar. Tujuan pemberian tanda itu
adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau produsen dari produk tersebut
atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau kelebihan dari produk tersebut.
Dalam banyak sektor perdagangan, merek menjadi penting karena itulah yang
menarik konsumen untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu, banyak
perusahaan yang mau bersusah payah dan mengeluarkan uang banyak untuk membangun
atau mempertahankan reputasi mereknya. Kepemilikan merek bersifat privat,
karena penetapan suatu tanda sebagai merek terjadi akibat kesengajaan oleh
produsen produk tersebut dan bukan karena ditetapkan oleh masyarakat. Pemegang
hak merek berkepentingan untuk mencegah mereknya ditiru/dipalsu, karena produk
peniru apalagi palsu tersebut dapat mengurangi pendapatannya atau mengerosi
reputasinya.
Istilah ‘tanda’ dalam konteks merek tidak sama dengan
yang diatur dalam konteks indikasi geografis. Dalam konteks merek, tanda
tersebut yang penting adalah harus memiliki daya pembeda. Berdasarkan doktrin
spectrum of distinctiveness, kekuatan daya pembeda suatu merek dapat
dikelompokkan menjadi lima: fanciful, arbitrary, suggestive, descriptive, dan
generic. Dalam konteks indikasi geografis, ‘tanda’ tersebut harus menunjukkan
daerah asal dari suatu produk; sedangkan produknya itu sendiri harus
menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang dihasilkan oleh faktor lingkungan
geografis, yang meliputi faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua
faktor tersebut. Jika ‘tanda’ dalam merek diberikan oleh produsen produk, maka
‘tanda’ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah suatu hal
yang hampir mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang pertama
kali mencetuskan nama tersebut. Yang jelas dalam praktek perdagangan, ‘tanda’
itu dipergunakan untuk membedakan dengan produk yang sejenis dari daerah lain.
2. SARAN
Dalam pengaturan UU Merek 2001, obyek indikasi
geografis tidak dibatasi secara tegas hanya berupa hasil alam. Karena UU
tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat yang berhak mengajukan
permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat barang-barang
kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek indikasi
geografis dapat mencakup hasil budaya. Pengaturan demikian menjadi
membingungkan, karena obyek hasil budaya masyarakat lokal sesungguhnya dapat
pula dianggap sebagai folklor. Persoalannya adalah pengaturan untuk tidak menggunakan UU Merek, tetapi menggunakan
UU Hak Cipta. Tidak hanya itu, pengaturan dalam UU Hak Cipta seolah-olah hanya
mencakup folklor dalam pengertian lagu dan tarian saja, padahal pengertian
mengenai folklor lebih luas dari itu.
Secara pribadi penulis berpandangan bahwa obyek
indikasi geografis seharusnya dibatasi pada hasil alam saja. Karena sesuatu
seharusnya disebut sebagai indikasi geografis jika keunikan, keistimewaan, atau
keunggulan dari produk tersebut dibandingkan dengan produk sejenis lain lahir
dari bumi (geo) tempat produk tersebut berasal.
Persoalan lain dari
pengaturan mengenai indikasi geografis adalah inkonsistensi. Dalam sistem hukum
merek, perlindungan hukum pada pemilik merek baru efektif jika yang
bersangkutan telah mendaftarkan mereknya tersebut. Artinya, tanpa pendaftaran
maka ditinjau dari segi hukum merek kedudukan hukum dari pemilik merek dalam
mengantisipasi kompetitor atau lawan bisnisnya menjadi agak lemah. Terlepas
dari kekurangan yang ada, policy dari pengaturan tersebut jelas. Tetapi dalam
konteks indikasi geografis, apa yang dikehendaki oleh pembuat UU menjadi tidak
jelas. Karena mereka menyatakan bahwa indikasi geografis yang tidak didaftarkan
disebut indikasi asal; dan pemegang atas hak indikasi asal punya hak yang sama
dengan pemegang hak atas indikasi geografis. Dengan rumusan yang seperti ini,
lalu buat apa pengaturan mengenai pendaftaran indikasi geografis?
Agar tidak menimbulkan
kebingungan yang lebih besar lagi, sebaiknya pengaturan mengenai indikasi
geografis dikeluarkan saja dari UU Merek. Dengan demikian, konten UU Merek
menjadi lebih fokus.
[3] Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelekttual dan Budaya Hukum,
(Jakarta: Rineka Cita, 2000). Hlm 30
Comments
Post a Comment