Teori Hukum
B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu
Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin
hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis
berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan
kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum
dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam
hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum.
JJH Bruggink :” Teori hukum
adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan
putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan.
Teori ilmu hukum bertujuan
untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk
memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat
yang paling dalam.
Teori hukum merupakan
kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan
hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu
sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah
sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai
pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad
kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari
filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya
adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting
filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum
dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah
adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian
hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan
politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan
sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode
dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para
filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya
datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman
Yunani-Romawi
Plato (427-347 sebelum Masehi)
beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat.
Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang
pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk
terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui
Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem
pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang
dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum
Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik
putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus
ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif.
Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus
aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam
ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena
hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang
ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada
hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan
antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan
distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai
dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan
dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan
kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan
oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya,
sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu
sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari
prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum
harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari
setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari
perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran
yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles
memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus
menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap
masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan
mempertimbangkan hal yang bersifat individual.
Teori HukumPada Abad Pertengahan
Thomas Aquinas (1225-1275)
adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris
dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum,
Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari
wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang
didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang
diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada
hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium),
akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal
dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma
moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang
umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum
alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam
semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam
ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam
hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang
mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya
kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi
lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa
yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam
itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan
aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang
terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu
pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi
manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum
alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam
norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam
sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto,
oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer,
tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.
Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar
dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan
tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya
jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.
Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya
Positivisme dan
Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia
semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang.
Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun
1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme
sebagai berikut :6)
Hukum adalah perintah.
Analisis terhadap konsep-konsep
hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini
berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu
penilaian kritis.
Keputusan-keputusan dapat
dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih
dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas.
Penghukuman (judgement) secara
moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional,
pembuktian atau pengujian.
Hukum sebagaimana diundangkan,
ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai
pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin
(1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar
dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya
ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu
negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah
(subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu
hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya
sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa
unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui
ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut
telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik
yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832)
adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut
kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan
cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya
dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari
perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah
terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering
disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme
dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme
dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan
perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti
dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari
seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya
pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan
sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia
mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak
pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan
hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari.
Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada
tujuan tertentu.
John Stuart Mill berpendapat
hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan
kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada
kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan
keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu
rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart
Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas
kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap
kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual,
melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan
dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua
persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.
Teori Hukum Murni
Hans Kelsen (1881-1973),adalah
pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum
murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina
mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti
yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri,
kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak
boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan
tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :10)
Tujuan teori tentang hukum,
seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan
kesatuan (unity)
Teori hukum adalah ilmu, bukan
kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan
tentang hukum yang seharusnya ada
Ilmu hukum adalah normatif,
bukan ilmu alam
Sebagai suatu teori tentang
norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma
hukum
Suatu teori tentang hukum
adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah
menurut jalan atau pola yang spesifik
Hubungan antara teori hukum
dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang
mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol
pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus
mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan
identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan
terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum,
dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan
yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans
Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu
dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua
jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk
untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu
Comments
Post a Comment